"Sandaran Kamus Lisanul Arab"
Judul : Tahdzib al-Lughah
Pengarang : Abu Manshur al-Azhari
Cetakan/tahun : Dar Ihya at-Turast al-Arabi, 2001
Jumlah jilid : 15 jilid
Judul : Tahdzib al-Lughah
Pengarang : Abu Manshur al-Azhari
Cetakan/tahun : Dar Ihya at-Turast al-Arabi, 2001
Jumlah jilid : 15 jilid
* Biografi Abu Mansur al-Azhari
Abu Mansur mempunyai nama lengkap Muhammad bin Ahmad bin Thalhah bin Nuh bin Al-Azhar Al-Azhari Al-Harawi As-Syafi’i. Al-Azhari adalah nisbah kepada kakeknya, adapun al-Harwi adalah nisbah kepada tempat kelahirannya yaitu kota Harrah di Khurasan dan as-Syafii adalah nisbah kepada madzhab Syafii. Imam Tajuddin As-Subki dalam Thabaqatnya mengatakan, “Abu Mansur adalah seorang pakar ilmu bahasa, fikih, dan madzhab, seorang yang tinggi mata rantai keilmuannya, sangat wara’, rajin beribadah dan muraqabah, sangat perhatian terhadap perkataan-perkataab imam Syafii, dan sangat berhati-hati dalam beragama”.
Abu Mansur lahir pada tahun 282 H. dan tumbuh di kota kelahirannya, Harah. Masa kecilnya dihabiskan untuk menuntut ilmu kepada ulama-ulama di sana, diantaranya adalah al-Husain bin Idris, Muhammad bin Husain as-Sami sebagaimana kata as-Subki dalam Thabaqatnya. Setelah keilmuannya mulai matang dan menginjak usia dewasa, ia pergi ke Irak untuk melaksanakan ibadah haji, namun kemudian ia ditahan oleh kelompok Qirmithy dalam perjalanan pulang. Setelah ditahan cukup lama, akhirnya Abu Mansur dibebeskan dan langsung pergi menuju Baghdad, di sana dia banyak menghadiri majlis-majlis ilmu sehinggu keilmuannya semakin matang. Dari sinilah mata rantai keilmuannya melewati ulama-ulam Baghdad, diantaranya adalah Abu Abdillah Ibrahim bin Muhammad bin ‘Arafah Nafthaweih (233-323 H.), Abu Bakr Muhammad bin as-Surri bin Sahl (316 H.), dan Abul Qasim bdullah bin Muhammad bin Abdul Aziz al-Baghawi (214-317 H.). Abu Mansur juga sempat bertemu dengan Abu Bakr ibn Duraid (223-321 H.) di Baghdad, akan tetapi dia tidak sempat untuk berguru kepadanya. Setelah sekian lama tinggal di Bahdad, Abu Mansur kembali ke kota kelahirannya, ia mulai mengajar fikih syafii, bahasa, dan lain-lain. Selain mengajar, dia juga masih berguru kepada pakar-pakar bahasa di sana, diriwayatkan bahwa Abu Manshur bermulazamah kepada syekh al-Mundziri al-Harawi dan ketika bermulazamah dengannya lah Abu Manshur mulai menyusun kitab Tahdzib Al-Lughah (Menyaring dan Membersihkan Bahasa).
Ketika menyusun kitab ini, Abu Manshur bermaksud mengumpulkan lafadz-lafadz bahasa arab yang dihilangkan dari kitab-kitab mu’jam arabi dan mengeluarkan lafadz-lafadz non-arab yang dianggap sebagai bahasa arab, sehingga tidak heran jika ia menamainya dengan Tahdzib al-Lughah. Setelah mengumpulkannya dengan penuh payah, selesailah penulisannya dan menghasilkan sebuah kitab yang sangat besar. Kendati demikian, dia mengaku bahwa apa yang sudah ia tulis adalah berdasarkan riwayat yang shahih saja dari orang-orang yang terpercaya, itu berarti masih banyak lagi yang belum tercantumkan di kitab ini yang menurutnya tidak shahih padahal mungkin ia termasuk shahih.
As-Subki di dalam Thabaqatnya menyebutkan murid-murid Abu Manshur, diantaranya adalah Abu Ya’qub al-Qarrab, Abu Dzar Abd ibn Humaid, Abu Utsman Said al-Qurasyi, al-Husain al-Basyani, dan Ali ibn Ahmad ibn Khamraweih. Diriwayatkan bahwa murid yang paling dekat dengan Abu Manshur adalah Abu Ubaid Ahmad ibn Muhammad al-Harawi (401 H.), pengarang kitab Al-Gharibain. Karena kedekatannya itulah imam Ibnu Atsir menjulukinya dengan Shahibul Imam Abi Manshur al-Azhari al-Lughawi.
Mayoritas pakar sejarah menyebutkan bahwa Abu Manshur wafat pada tahun 370 H. di kota kelahirannya, Harah. Beberapa pakar sejarah lainnya menyebutkan bahwa Abu Manshur wafat pada tahun 371 H. rahimahullahu rahmatan wasi’ah.
* Tentang Mu’jam Tahdzib Al-Lughah
Dalam literatur mu’jam arabi, kamus Tahdzib al-Lughah merupakan salah satu kamus yang dijadikan pegangan dan rujukan utama oleh ulama-ulama yang datang setelahnya. Kamus ini juga merupakan salah satu diantara karya-karya yang selamat dari serangan Tatar ketika mereka membakar maktabah-maktabah dan karya-karya ulama kita, mungkin ini salah satu tanda bahwa Allah Swt. ridha dengan penulis dan kitabnya ini. Bagaimana tidak? sejak kamus ini dikarang yaitu abad ke-4 Hijriyyah sampai abad ke-15 ini, ia masih menjadi objek perhatian para cendekiawan islam bahkan orientalis, selain itu kamus ini juga menjadi rujukan utama penyusunan kamus Lisan al-‘Arab oleh Ibn Mandzur. Salah satu sebab yang membuat Ibnu Mandzur menjadikannya sebagai rujukan utama adalah kedetailan Abu Manshur dalam menjelaskan makna suatu kata dan idiom-idiom dalam berbagai disiplin ilmu, terlebih tafsir, fikih, nahwu, dan sharaf.
Abu Manshur menggunakan sistematika penyusunan kamus al-‘Ain lil Khalil al-Farahidi, sistematika itu kurang lebih tercermin dalam beberapa hal berikut:
1. Mengurutkan dengan huruf hijaiyyah sesuai makharijul huruf; dimulai dari huruf-huruf halaq ع ح ه خ غ kemudian diteruskan dengan ق ك ج ش ض ص س ز ط د ت ظ ذ ث ر ل ن ف ب م و ي.
2. Membagi setiap huruf menjadi empat bagian, secara berurutan adalah mudha’af, tsulatsi shahih, tsulatsi mu’tall, lafif, ruba’i, khumasi, dan mu’tall.
3. Memperhatikan nidzam at-taqlibat (membalik akar huruf yang sama dan menyebutkannya di satu tempat), seperti د ع dan ع د, kemudian menyebutkan musytaqqatnya dalam satu tempat.
4. Huruf awal dari setiap kata berdasarkan huruf-huruf asli, buka huruf-huruf zaidah (tambahan).
Selain hal-hal di atas, Abu Manshur juga menggunaka prinsip ilmiah yang menjadi kaidah besar dalam islam, yaitu “in kunta naqilan fasshihhah” (jika kamu menukil perkataan orang lain, maka hendaklah benar penukilanmu!). Sebelum menjelaskan makna suatu kata, Abu Manshur menggunakan shiyagh ar-riwayah seperti قال, يقال, روي, تقول العرب , dan lain-lain.
* Keunggulan kamus Tahdzib al-Lughah diantaranya adalah:
1. Tidak ada yang bisa mengetahui betapa besarnya nilai kamus ini kecuali yang sudah mengkajinya sekian lama, dan memperhatikan metode penyusun dalam menjelaskan sebuah makna dan amanah penyusun yang luar biasa dalam menulisnya. Imam Suyuthi pernah berkomentar, ”Abu Manshur adalah pakar hadis, tinggi mata rantai keilmuannya, dan sangat wara’”.
2. Penyusun menulis kamus ini pada usia menginjak 70 tahun, itu berarti ia menulis ketika umur dan keilmuannya sudah matang, sehingga membuat hasilnya pun semakin berkualitas.
3. Selain menafsirkan makna lafadz yang masih samar di dalam quran, hadis, syiir-syiir arab dan lain-lain, penyusun juga menjelaskan nama-nama kota dan negara. Kecenderungan menjelaskan nama-nama tempat di abad ke-3 terbilang masih sangat dini yang kemudian mencapai puncaknya pada akhir abad ke-8, yaitu ditangan Fairuz Abadi (817 H.) dengan karya monumentalnya; al-Qamus al-Muhith.
4. Dijadikan rujukan utama oleh Ibnu Mandzur dalam menyusun kamus Lisan al-Arab.
Silahkan nikmati keunikan kamus yang satu ini di PMIK mulai pukul 13.00-17.00 Clt. setiap hari ahad s/d kamis, ditunggu yah :)
1 komentar:
Click here for komentarArtikel yang membahas tentang sejarah seni kaligrafi arab ada?
ConversionConversion EmoticonEmoticon