Judul: Detik-Detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi
Penulis: Bacharuddin Jusuf Habibie
Penerbit: THC Mandiri
Kota Penerbit: Jakarta
Terbit: Cetakan III; November 2006
Jumlah Halaman: 549
ISBN: 979-99386-6-X
Sekilas Tentang Buku
“Kekuasaan adalah amanah dan titipan Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa, bagi mereka yang percaya atas eksistensi-Nya. Bagi mereka yang tidak percaya atas eksistensi-Nya, kekuasaan adalah amanah dan titipan rakyat. Pemilik kekuasaan tersebut, tiap saat dapat mengambil kembali miliknya dengan cara apa saja”. Inilah salah satu sifat yang mendasari karakteristik kepemimpinan B.J. Habibie. Menurutnya kekuasaan bukanlah tujuan, melainkan sarana perjuangan atau pengabdian kepada bangsa dan Negara yang kelak akan dipertanggung jawabkan dihadapan Yang Maha Kuasa.
Kekuasaan juga merupakan amanah yang harus ditunaikan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran serta kode etik yang berlaku dengan mengutamakan kepentingan rakyat sebagai pemilik absolut kekuasaan di kancah negara yang menjunjung tinggi demokrasi. Pemerintahan dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat. Dalam hal ini, “kebenaran” bersumber pada nilai-nilai agama yang diyakini Habibie, yaitu Islam.
Lima ratus dua belas hari Habibie berkuasa. Waktu yang relatif singkat dalam memimpin Indonesia yang tidak hanya mengalami krisis ekonomi, bahkan juga mengalami krisis kepercayaan, sosial dan politik namun berhasil diperbaikinya. Seperti yang dikatakan Habibie bahwa pada akhirnya sebuah sistem yang memiliki kredibilitas dan prediktabilitas tinggi akan menentukan kualitas dan keunggulan suatu produk pemikiran, kebijakan, perangkat keras, dan perangkat lunak yang dapat diandalkan. Tidak dapat dipungkiri memang, dalam 512 hari masa jabatannya masih banyak diwarnai kekurangan disana-sini, namun buah pemikirannya telah membuktikan kredibilitas dan prediktabilitas dirinya dalam mengatur sebuah sistem.
Buku Detik-Detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi ini merupakan kumpulan catatan harian Bacharuddin Jusuf Habibie, seorang aktor utama pelaku sejarah saat lahirnya reformasi. “semua berdasarkan catatan yang ada pada saya. Tak ada hal yang saya tulis berdasarkan katanya… katanya,” ujar seorang yang juga dianugrahi julukan bapak disintegrasi dari lepasnya Timtim.
B.J. Habibie memulai memoarnya dengan membuka catatan hariannya pada tanggal 20 Mei 1998. Malam itu beliau dikagetkan oleh kabar yang datang dari Menteri Sekretaris Negara melalui telepon bahwa besok pagi Pak Harto akan mengundurkan diri dari jabatannya. Padahal baru saja kemarin malam Pak Harto bersama Habibie merumuskan susunan kabinet baru yang akan diumumkan pada 23 Mei mendatang di Istana Merdeka di depan pimpinan DPR/MPR. Ternyata keadan berubah begitu cepat.
Entah apa yang diinginkan Pak Harto dari pengunduran dirinya yang diluar perencanaan itu. Habibie sama sekali tidak bisa memperkirakan. Apakah dengan pengunduran dirinya itu berarti Pak Harto juga menghendaki pengunduran diri Habibie? Mengingat pernyataan Pak Harto di hadapan beberapa tokoh masyarakat yang seolah seperti meragukan kepemimpinan Habibie kelak.
Habibie juga menuliskan pada catatan hariannya bahwa silaturahimnya dengan Pak Harto, orang yang dihormati dan dicintainya itu terputus semenjak 21 Mei 1998. Pak Harto enggan menemuinya. Hanya sekali komunikasi terjadi, itupun melalui telepon. Yakni pada 8 Juni 1998 saat ulang tahun ke-77 Pak Harto. Lewat berbagai jalur Habibie berusaha menghubungi Pak Harto, namun hasilnya nihil. Bahkan saat stroke pertamanya pada September 1999 dokter dan perawat di rumah sakit melarang Habibie untuk menemuinya.
21 Mei 1998 sejarah mencatat perpindahan kekuasaan Presiden Republik Indonesia kepada Wakil Presiden Republik Indonesia. Berbagai pernyataan negatif bermunculan. Banyak yang meragukan kepemimpinan Habibie baik dari dalam maupun luar negeri. Menanggapi hal ini, Habibie tetap berlapang dada dengan keteguhan prinsipnya. Habibie berpendapat bahwa berpolemik dengan mereka yang meragukan kepemimpinannya hanya akan merugikan bangsa dan negara. Satu-satunya cara untuk menghadapi mereka adalah dengan karya nyata untuk membuktikan bahwa pernyataan mereka keliru.
Terbukti, Lee Kuan Yew seorang Menteri Senior Singapura meralat pernyataanya melalui surat yang dilayangkannya ke Menteri Negara BUMN Tanri Abeng. Lee mengucapkan selamat atas keberhasilan yang dituai Habibie.
Lewat buku setebal 549 halaman ini juga terungkap bagaimana sikap Habibie dalam menghadapi tekanan dari berbagai pihak. Contohnya ketika Habibie didesak agar menyelenggarakan pemilu dalam waktu tiga bulan. Habibie menolak dengan alasan, tak adil bila pemilu digelar sebelum rakyat diberi kesempatan membentuk partai-partai yang akan membawa aspirasi dan wawasan baru. Menurutnya pemilu baru bisa diselenggarakan sesegera mungkin satu tahun kedepan. Seperti yang diketahui, pemilu 1999 diikuti tidak lebih dari 48 partai.
Yang menarik adalah uraian Habibie yang seolah meluruskan isu negatif seputar “ancaman” Prabowo. Yang beredar di masyarakat saat itu adalah Prabowo mendatangi Habibie untuk meminta jabatan Pangab dengan membawa senjata. Ternyata isu ini tidak benar sama sekali. Lewat buku ini teungkap pula bagaimana sikap Habibie melobi Pemerintah Jerman untuk membantu pemulihan perekonomian Indonesia.
Habibie, sebagai seorang yang memperjuangkan HAM dan demokrasi telah membuktikan melalui sikapnya dalam mengatasi masalah Timtim. Provinsi ke-27 yang pada akhirnya lepas dari wilayah NKRI melalui referendum. Menurutnya, pembukaan UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Sudah saatnya Indonesia secara jujur melihat Timor Timur yang semula memang di luar NKRI yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Di akhir buku ini tergambar jelas bagaimana kebesaran hati seorang Habibie yang tidak bersedia mencalonkan ataupun dicalonkan kembali sebagai presiden saat laporan pertanggung jawabannya ditolak. Walaupun sebenarnya tidak ada perundang-undangan yang melarang presiden untuk mencalonkan ataupun dicalonkan kembali ketika laporan pertanggung jawabannya ditolak. Ia ingin menjaga etika dalam berdemokrasi dengan tidak menggunakan berbagai macam cara untuk mempertahankan kekuasaan.
Buku Detik-Detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi ini memang berpotensi menimbulkan pro dan kontra dari para pelaku sejarah, mengingat buku ini adalah hasil dari catatan harian Habibie. Bagaimanapun, buku ini banyak memberi informasi kepada kita tentang segala hal yang dilakukan Habibie selama menjadi orang nomer satu di negeri ini. Banyak terobosan yang dilakukannya. Tergambar jelas bagaimana sikapnya sebagai seorang demokrat yang membuka jalan masuk demokrasi ke negeri ini. menurutnya, seorang pemimpin yang berhasil adalah pemimpin yang mampu menjadikan generasi setelahnya mampu berkarya lebih baik darinya.
ConversionConversion EmoticonEmoticon