::::::::: Imam Syatiby Dan Maqashid ::::::::::
Berbicara tentang Ushul Fikih, perlu kiranya mengetahui juga tentang Bahasa Arab. Ini berangkat dari ketergantungan Ushul Fikih kepada Bahasa Arab. Ibarat perkakas yang diperlukan oleh seorang penambang. Artinya seorang yang mempelajari Ushul Fikih tanpa memiliki bekal yang cukup tentang Bahasa Arab, niscaya dia tidak akan sampai pada tujuan akhir, yaitu mampu menggali sebuah hukum dari dalil-dalil syar’i atau minimal mengetahui bagaimana seorang mujtahid menggali sebuah hukum dari dalil-dalil syar’i langsung.
Berdasarkan hal itu, tidak heran jikalau Imam Syafi’i sebagai orang yang pertamakali meletakkan Ilmu Ushul Fikih, terlebih dahulu membahas Bahasa Arab (lughât) dengan sangat detail di dalam Risalahnya. Begitu juga ulama-ulama yang datang setelahnya sampai abad ke-delapan Hijriyah, mereka memberi perhatian khusus terhadap Bahasa Arab (lughât).
Pada abad ke delapan, lahirlah seorang ulama besar dari bumi Andalusia yang mengarang kitab al-Muwâfaqât sehingga ilmu Ushul Fikih menjadi semakin matang dan lebih komprehensif, tidak hanya berkutat dalam masalah lughât, tapi juga merambah ke dalam masalah maqâshid yang pada perkembangannya lebih dikenal dengan ilmu Maqashid, beliau adalah Abû Ishâq Ibrâhim bin Mûsa bin Muhamad asy-Syâthiby .
Meskipun pada hakikatnya tentang Maqashid, pembahasannya sendiri telah dibahas secara sekilas oleh sebagian ulama, seperti:
- Imam Tirmidzi di dalam As-Sholâh wa Maqâshiduhâ
- Abû Manshûr Al-Mâtûridy di dalam Ma`khodz Asy-Syarâi’
- Abû Bakr Qoffâl Asy- Syâsy di dalam Mahâsin Asy-Syarî’ah,
- Al-Bâqillâny di dalam Al-Ahkâm wal ‘Ilal,
- Al-Qôdhy Husain di dalam Asrôrul Fiqh,
- Imam Haromain di dalam Al- Burhân , dan generasi setelahnya seperti Imam Ghozali, Fakhruddin Ar- Rozi, Saifuddin Al-Amidi, Ibnu Hajib, Isnawi, Ibnu Subk dll.
Selain ulama-ulama ushul di atas, terdapat pula ulama-ulama muhaqiqun yang sebenarnya lebih banyak perhatiannya terhadap masalah maqashid, yang mana karya- karya mereka justru pada akhir- akhir ini dijadikan rujukan dan referensi utama oleh banyak ulama kontemporer di dalam banyak karyanya, seperti :
- Qôdhil Qudhôt Al-‘Izz bin ‘Abdus Salâm Di dalam Qowâ’id Al-Ahkâm fî Mashôlih Al-Anâm, dan muridnya
- Syihâbuddîn Al-Qorôfy di dalam Al-Furûq, begitu juga
- Ibnu Taimiyah di dalam Majmu’ al-Fatâwa, dan muridnya
- Ibnu Qayyim di dalam I’lâmul Muwâqi’in ‘an Rabbil ‘Âlamîn.
Lalu, siapakah Imam Syatiby?, apa yang membuatnya dijuluki bapak ilmu Maqashid?, apa isi Muwafaqotnya?, apa yang membuatnya menjadi referensi utama dalam ilmu Maqashid? Apa komentar ulama lain terhadap al-Muwâfaqôt ini? Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan seputar karya fenomenal ini.
• Biografi Imam Syatiby
Beliau adalah Al-Imam Abû Ishâq Ibrâhîm bin Mûsa bin Muhammad, lahir di kota Syathibah sekitar tahun 730 H. Dan wafat pada tahun 790 H., kelahirannya membuat bumi Andalusia semakin harum dan besar di mata semua kalangan khususnya umat islam, karena selain menjadi simbol kejayaan islam selama delapan setengah abad, dia juga menjadi tempat lahir, tumbuh, dan wafatnya seorang pilar islam.
Sejak kecil, asy-Syatiby memang sangat cinta terhadap ilmu, sehingga dengan bekal kecintaan itulah asy-Syatiby mampu menguasai berbagai disiplin ilmu, bahkan mampu mengembangkan dan menyempurnakan konsen ilmu yang sudah dikuasainya. Kecintaan kepada ilmu semakin terlihat ketika as-Syatiby aktif mengambil ilmu dari para ulama yang ada di kotanya, karena kebetulan banyak para ulama yang lahir dikota tersebut dan juga banyak ulama dari luar kota kemudian menetap di sana.
As-Syatiby berguru Bahasa Arab kepada Abû Sa’îd bin Lubb dan Abû Ja’far asy-Syaqûry, belajar Fikih kepada Ibnu Al-Fakhôr, Nahwu kepada Abu Ali az-Zâwy, Abu Abdillâh at-Tilmisâny, dan Abû Abdillah Al-Balnasy, Usul Fikih, Tafsir, dan Qowâ’id al-Fiqhiyyah kepada Abû Abdillâh al-Maqqôry, Ilmu Bahasa kepada Abû al-Qâsim as-Sabty, dan Ilmu Hadis kepada Ibnu Marzûq.
Dengan begini, asy-Syatiby mampu menguasai ilmu-ilmu syariat yang secara tidak langsung telah membentuk pribadi yang sangat luar biasa, membuat konsep-konsep baru dalam berbagai konsen ilmu, dan membuka pola pikir ulama-ulama yang semasa dan yang datang setelahnya untuk terus mengembangkan dan mematangkan berbagai konsen ilmu syariat.
Adapun murid-murid asy-Sytiby yang juga menjadi pilar-pilar islam adalah al-Qôdhy Abû Yahyâ bin ‘Âshim, al-Qôdhy Abû Bakr bin ‘Âshim, Abû Ja’far bin Al-Fakhâr, al-Bayâny, al-Majâry, al-Qushâr, Ibnu Futûh, dan lain-lain.
Kecintaan asy-Syatiby kepada ilmu tidak hanya diwujudkan dengan semangat berguru kepada banyak ulama, akan tetapi juga diwujudkan dengan karangan-karangannya yang diwariskan untuk umat islam seluruhnya, sebagian sudah dicetak seperti :
- al-Muwâfaqât tentang maqashid asy-syari’ah,
- al-I’tishôm tentang sunnah dan bid’ah,
- al-Ifâdât wa al-Insyâdât tentang sastra,
- Kitâb al-Maqâshid asy-Syâfiyah fî Syarhi al-Khulâshah al-Kâfiyah,
Sebagian lagi belum dicetak seperti :
- al-Majâlis fî Syarhi al-Buyû’ min Shahîh al-Bukhâry,
- ‘Unwân al-Ittifâq fî ‘Ilmi al-Isytiqâq, dan
- Ushûl an-Nahwi.
Yang membedakan asy-Syatiby dengan ulama-ulama lain dalam karangan-karangannya di atas adalah asy-Syatiby sedikit sekali menggunakan metode naql, tidak menuliskan hal-hal yang sudah pernah ditulis oleh ulama sebelumnya, akan tetapi as-Syatiby memunculkan hal-hal yang baru dan mengembangkan permasalahan-permasalahan yang sudah disinggung oleh para ulama sebelumnya.
Karena itulah nama asy-Syatibi mulai dikenal keseluruh penjuru dunia, dan itulah sebabnya mengapa karangan-karangan as-Syatiby diterima di semua kalangan Ulama Islam bahkan menjadi referensi utama, terutama kitabnya al-Muwâfaqât dalam ilmu Maqashid.
• Kitab al-Muwâfaqât
Al-Muwafaqot adalah karya terbesar Imam Syatibi, merupakan karya ilmiyah dalam bidang Ushul Fikih sekaligus salah satu bentuk reformasi ilmiyah syariah secara menyeluruh. Buku ini, bukan hanya menjelaskan dasar- dasar ilmu Ushul Fikih dengan metodologi yang berlandaskan penelitian penuh dari kitab dan sunnah, tapi juga menjelaskan dasar-dasar utama untuk memahami syariat islam secara menyeluruh.
Pada awalnya asy-Syatiby memberi nama kitabnya ini dengan ‘Unwâna at-Ta’rîf bi Asrôr at-Taklîf, kemudian beliau menggantinya dengan al-Muwâfaqât karena sebab yang aneh (kata asy-Syatiby), yaitu pada suatu ketika asy-Syatiby bertemu dengan beberapa gurunya dan berkata kepadanya, “Saya tadi malam mimpi bertemu denganmu dan kamu membawa kitab yang sedang kamu karang, kemudian saya bertanya ‘kitab apa itu?’, lantas kamu menjawab ‘ini adalah kitab al-Muwâfaqât’, kemudian saya bertanya lagi ‘kenapa kamu memberinya nama al-Muwâfaqât?’, lantas kamu menjawab ‘karena didalam kitab ini kamu menggabungkan antara madzhab Ibnu al-Qosim dan Abu Hanifah’ ”. “Yah, mimpi kalian benar, sesungguhnya saya mengarang kitab ini atas dasar itu (menggabungkan dua madzhab)”, kata asy-Syatiby kepada gurunya.
Akhirnya, asy-Syatiby memberi nama al-Muwâfaqât karena kesamaan antara mimpi gurunya dengan niat awal asy-Syatiby dalam mengarang kitab ini. Dari sini kita mengetahui bahwa sangkaan kitab ‘Unwân at-Ta’rîf dan al-Muwâfaqât adalah dua kitab yang berbeda, itu keliru. Karena pada hakikatnya keduanya adalah dua nama untuk satu kitab.
Al-Muwâfaqât adalah nama asli karya asy-Syatiby ini, akan tetapi beberapa ulama dan muhaqiqun menambahkannya dengan al-Muwâfaqât fî Ushûl asy-Syarî’ah, sebagaimana yang ditulis oleh Syekh Daraz, dan juga al-Muwâqôt fî Ushûl al-Ahkâm, sebagaimana yang ditulis oleh Syekh Muhyidin Abdul Hamid,” wallohua’lam dari mana mereka mendapatkan tambahan nama tersebut”, kata Syekh Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan Ali Salman.
Adapun cakupan kitab al-Muwâfaqât sendiri terdiri dari 5 bagian, yaitu :
1. Al-Muqaddimah, pembukaan ini terdiri dari 13 kaidah dan 5 pasal, berisikan tentang pembahasan dasar-dasar ilmu Ushul Fikih, sebagai pengantar menuju substansi Ushul Fikih itu sendiri. Contoh : semua permasalahan yang diletakan di dalam Ushul Fikih, tetapi tidak bisa dijadikan dasar untuk menjabarkan fikih, maka peletakannya hanya membuang energi dan tidak banyak manfaatnya, seperti masalah mubah apakah termasuk taklif atau bukan, dan masalah siapa yang meletakan bahasa pertama kali.
2. Al-Ahkâm, bagian ini terdiri dari : Ahkam Taklifiyah dan Wadh’iyah.
3. Al- Maqhâshid, di sini dijelaskan secara terperinci bahwa syariat islam diturunkan kepada manusia semata-mata untuk kesejahteraan mereka, karena berisikan kaidah-kaidah umum tentang kehidupan manusia, peraturan dan batasan-batasan yang wajib ditaati dan dilaksanakan agar kehidupan mereka teratur, tertib, dan aman. Sekilas nampaknya ajaran- ajaran Islam memberatkan dan membatasi kebebasan manusia, tapi kenyataannya adalah orang yang konsisten dengan ajarannya justru orang yang paling bebas dan paling tenang, karena seluruh ajarannya mengandung maslahat bagi manusia itu sendiri, walau tanpa disadari. Sebaliknya, yang tidak mentaati aturan–aturannya, akan terikat dan terbeleggu oleh nafsunya.
4. Ad-Dalîl, pembahasan dalil dibagi menjadi dua bagian, yaitu kaidah-kaidah umum dalam menggunakan dalil dan Pembahasan tentang dalil secara lebih terperinci.
5. Al-Ijtihâd, di sini asy-Syatiby menjelaskan masalah ijtihad dengan sangat rinci dan tentunya ada hal baru yang dimunculkan dalam masalah ijtihad ini.
• Referensi-Referensi Al-Muwâfaqât
Adapun referensi-referensi asy-Syatiby untuk menulis Muwafaqotnya adalah sebagai berikut : al-Muwatho` lil Mâlik, al-Qobas li Ibnil ‘Arobi, al-Muntaqô li al-Bâji, al-Mudawwanah, al-‘Atabiyyah, al-bayân wa at-TahshÎl, Al-Mawwâziyah, Nawâzil Ibni Rusyd, Mukhtashar MâLaisa fî al-Mukhtashar, al-Kâfi, Al-Mabsûthah, Muqaddimât Ibni Rusyd, al-Amwâl li ad-Dâwi, Tartîbul Madârik li al-Qâdhi ‘Iyâdh, ar-Risâlah li al-Qusyairi, Jâmi’ Bayân al-Ilmi li Ibni Abdil Barr, al-Intiqâ` li Ibni Abdil Barr, Ahkâmul Qur`ân li Ismâ’îl ibni Ishâq, Ahkâmul Qur`ân li Ibnil ‘Arobi, Tafsîr Sahl bin Abdillâh at-Tastary, Fadhâ`il al-Qur`ân li Abi Ubaid, an-Nâsikh wa al-Mansûkh li Ibnil ‘Arobi, Musykil al-Qur`ân li Ibni Qutaibah,as-Shohîhain, al-Muwatho`, Sunan Abî Dâwûd, Sunan at-Tirmidzi, Sunan an-Nasa`i, Musnad al-Bazzâr, Jâmi’ al-Ismâ’ily al-Mukharraj ‘Alâ Shahih al-Bukhâri, al-Jihâd li Ibni Hubaib, Musykil al-Hadîts li Ibni Qutaibah, Fawâ`id al-Akhbâr lil Iskâf,Musykil al-Âtsâr li at-Thahâwy, al-Mu`talif wa al-Mukhtalif li Abdil Ghoni bin Sa’îd al-Azdy, ad-Dalâ`il li ats-Tsâbit, Ikmâl al-Mu’allim li al-Qâdhi ‘Iyâdh, asy-Syifâ` li al-Qâdhi ‘Iyâdh, al-Bida’ wa an-Nahy ‘Anhâ li Ibni Wadhâh, al-Ihyâ` li al-Ghozâli, dan masih banyak lagi referensi yang asy-Syatiby nuqil darinya untuk menyusun Muwafaqotnya.
Melihat sekian banyak referensi yang ada, tidak lain menunjukan bahwa asy-Syatiby memiliki ilmu yang sangat luas, kecerdasan yang luar biasa dan yang pasti ketekunan dan ketlatenannyalah yang membuatnya menjadi imam besar dan karangan-karangannyapun mendapat perhatian khusus dan pengakuan dari seluruh ulama jagad raya, terutama Al-I’tishom dan Al-Muwafaqot.
• Komentar Ulama Terhadap al-Muwâfaqât
Contoh kongkrit bentuk pengakuan tersebut adalah perkataan Ahmad Amin di dalam Zhuhrul Islâm, “Asy-Syatiby telah keluar dari rel para ulama sebelumnya, uslubnya lebih gampang dipahami, dan asy-Syatiby telah banyak memunculkan pembahasan-pembahasan baru yang belum diketahui oleh kebanyakan orang”.
Begitu juga syekh Ali Hasbulloh di dalam Ushûl at-Tasyrî’ al-Islâmy, “Sungguh Abu Ishaq asy-Syatiby yang wafat pada tahun 790 H. telah mendatangkan pembahasan yang belum pernah disinggung sama sekali oleh siapapun di dalam kitabnya al-Muwâfaqât”.
Dari semua pembahasan di atas, kita bisa tarik kesimpulan bahwa buku ini sangat penting dan sangat dibutuhkan oleh siapa saja yang ingin memahami syariat islam secara benar.
Tunggu apalagi, segera kunjungi buku itu di rak Uhul Fikih, PMIK (Perpustakaan Mahasiswa Indonesia di Kairo) di lantai 5 Wisma Nusantara Cairo.
ConversionConversion EmoticonEmoticon