Membincang
Filsafat, Memasuki Dunia Sophie
Judul : Dunia Sophie
Judul Asli : Sofie’s Verden
Pengarang : Jostein Gaarder
Penerjemah : Rahmani Astuti
Penerbit : MIZAN PUBLISHING
ISBN : 9789794335741
Jumlah Halaman : 800 Halaman
Judul Asli : Sofie’s Verden
Pengarang : Jostein Gaarder
Penerjemah : Rahmani Astuti
Penerbit : MIZAN PUBLISHING
ISBN : 9789794335741
Jumlah Halaman : 800 Halaman
”Kitalah planet yang hidup
itu, Sophie! Kitalah kapal besar yang berlayar mengelilingi matahari yang
membakar alam raya. Tapi kita masing-masing adalah juga sebuah kapal bermuatan
gen-gen yang melayari kehidupan. Jika kita sudah membawa muatan ini dengan
selamat ke pelabuhan berikut --berarti hidup kita tidak sia-sia.”
― Jostein Gaarder
― Jostein Gaarder
Dunia
Sophie — Sophie Amundsend, seorang pelajar sekolah menengah berusia empat belas
tahun. Suatu hari sepulang sekolah, dia mendapat sebuah surat misterius yang
hanya berisikan satu pertanyaan: “Siapa kamu?”
Belum
habis keheranannya, pada hari yang sama dia mendapat surat lain yang bertanya:
“Dari manakah datangnya dunia?”
“...pada suatu titik, sesuatu pasti berasal dari
ketiadaan…” [hal. 25]
Novel
yang diterbitkan pertama kali dalam bahasa Norwegia ini menceritakan sejarah
filsafat sejak awal di Yunani hingga tersebar ke seluruh Eropa. Setiap gagasan
filsuf-filsuf disampaikan secara berurut berdasarkan waktunya, mulai dari zaman
mitologi Yunani hingga zaman kebangkitan teknologi di Eropa, dari kisah perang
para dewa hingga zaman sekarang di mana kisah perang para dewa difilmkan: legenda
Thor dengan kekuatan palunya hingga zaman keemasan Marx yang kemudian
memunculkan ketakutan akan palu-arit di salah satu tanah bekas pendudukan
Jepang.
Penulis,
melalui salah satu tokoh dalam buku, mempersonifikasi kehidupan Eropa layaknya
kehidupan manusia yang kemudian menjadi acuan pembahasan dan pengelompokan
gagasan filsafat Eropa. Zaman Yunani kuno dianggap sebagai masa kanak-kanak
Eropa, abad pertengahan adalah masa sekolahnya, dan Renaisans sebagai usia
dewasa dengan ledakan kegembiraan serta semangat hidup yang luar biasa.
”…
tidak mungkin ada sesuatu yang muncul dari ketiadaan…” [hal. 65]
Membaca dan mampu menyelesaikan Dunia Sophie yang berlabel
novel sejarah filsafat bukanlah sesuatu yang gampang dan dapat dilakukan dengan
cepat, setidaknya hal tersebut berlaku bagi saya. Butuh waktu 400an hari untuk
selesai membaca 800an halaman karya penulis Norwegia, Joestein Gaarder ini.
Meskipun memang dari 408 hari ini saya tidak membaca setiap hari, kadang sehari
saya dapat membaca 10 halaman atau kadang pula dalam seminggu bahkan sebulan
saya tidak membaca satu halaman pun.Bukan karena faktor malas sehingga sehari
hanya bisa membaca maksimal 10 halaman. Faktor isi bukunya yang bagi saya
memang bukan bacaan santai. Dunia Sophie ini bukan buku yang dapat dijadikan
teman perjalanan ketika berkereta baik dari segi dimensi maupun isi. Bukan pula
buku yang dapat dijadikan pembunuh rasa bosan ketika menunggu jemputan apalagi
pesanan.
Kalau dihitung-hitung, saya membaca 85% Dunia Sophie sambil
tengkurap di atas kasur. Mengantuk bukan masalah utama, melainkan dorongan
untuk selalu berkontemplasi setelah membaca barang satu bab atau bahkan hanya
satu paragraf gagasan tokoh-tokoh filsafat Eropa yang disampaikan Alberto Knox
kepada Sophie. Nah, pada tahap berkontemplasi inilah mengantuk baru menjadi
masalah.
Perihal
pemahaman, atau mungkin lebih pantas disebut sebagai penerimaan, tidak semua
apa yang ada dalam buku ini dapat saya terima secara prinsip. Misalnya pada
beberapa bagian yang mengisahkan kehidupan Nabi Isa a.s. Penulis
menceritakannya dengan sudut pandang dan kepercayaan Kristen, di mana hal
tersebut berbeda jauh dengan versi Islam– termasuk saya. Bahkan secara umum– mengutip
pengantar Penerbit Mizan, dapat dikatakan bahwa Dunia Sophie ini mengandung
bias Barat yang cukup kental. Hal tersebut terlihat jelas ketika Gaarder
membahas situasi dunia pada Abad Pertengahan, di mana dia melewatkan banyak
kontribusi besar para filsuf dan ilmuan Islam dalam mengantarkan Eropa keluar
dari abad kegelapannya.
Hal
menarik dari buku ini adalah adanya potret lukisan wajah setiap filsuf yang
dibahas. Selain itu, keunikan lainnya adalah adanya pergantian tokoh utama yang
menjadi penjaga alur cerita di tengah-tengah buku. Kemudian, Anda akan
menemukan bagian di mana Anda membaca buku yang isinya tentang orang yang
sedang membaca buku. Di mana isi buku yang dibacanya terdapat setengah dari
buku yang sedang Anda baca. Bingung? Saya juga.
Menempuh
separuh jalan itu tidak sama dengan mengambil jalan yang salah. [hal. 285]
Bagi
kawan-kawan yang senang membagikan atau sekedar membaca kutipan-kutipan bijak
yang menggelegar dan membahana di media sosial, maka buku ini sangat saya
sarankan untuk kawan-kawan baca. Juga buat aktifis-aktifis mahasiswa yang
senioritasnya nanggung, membaca buku ini cukup bisa menjadikan kalian terlihat
keren di mata para mahasiswa baru ketika kalian kebagian jatah bicara di
forum-forum diskusi. Tidak perlu bersusah payah memahami, cukup hafalkan atau
catat beberapa kalimat yang menurut kalian diksinya bagus.
Kalau
kata Jean-Paul Sartre: Eksistensi manusia mendahului dirinya. Aku ada
mendahului “apakah” aku ini. Yang penting eksis dulu, esensi bisa
belakangan. (Pararang, dengan perubahan seperlunya)
ConversionConversion EmoticonEmoticon